Pendidikan NonFormal Dan Konseling Bagi Anak-Anak Korban Bencana Alam

( Studi Kasus Gempa Tasikmalaya)

Bencana Itu Datang Lagi

Bila dilihat dari letak geografis Indonesia merupakan sebuah negara yang sering kali menjadi daerah bencana alam utamanya gempa, seperti di Aceh, Papua, Bengkulu, Sulawesi, dan lain sebagainya. Seperti gempa di Jawa Barat telah menghancurkan banyak jaringan infrastruktur. Bukan hanya korban jiwa yang mencapai 73 orang. Korban luka sebanyak 900 orang dan rumah rusak 170 ribu unit. Gempa juga merusakkan 1.314 sekolahan. Rinciannya 32 hancur total, 674 rusak berat dan 608 rusak ringan[1]. Dari hitungan itu, bisa diperkirakan betapa besar biaya untuk mengembalikan fasilitas pendidikan bagi korban gempa. Padahal masih banyak lagi kebutuhan lain yang harus dipenuhi seperti buku-buku dan alat tulis, seragam sekolah serta fasilitas lainnya.

Namun lebih parah lagi, para siswa banyak kehilangan kesempatan proses belajar-mengajar. Ini akibat para guru juga menjadi korban. Mereka pasti sibuk dengan pencarian keluarga, pemenuhan hajat hidup sehari-hari dan lainnya. Apabila poses belajar-mengajar terhambat hingga berkepanjangan, pasti akan menimbulkan akibat yang fatal.

Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Bambang Sudibyo yang melakukan kunjungan ke sejumlah sekolah yang rusak akibat gempa di Tasikmalaya, sekolah yang ditinjau menteri, yakni SD Salawu 4, SMP dan SMA Cigalontang. Sekolah-sekolah tersebut semuanya mengalami rusak berat.[2]

Bambang Sudibyo mengatakan, untuk sekolah-sekolah yang rusak berat, perbaikannya akan dilakukan pemerintah pusat. Sementara untuk sekolah yang rusak ringan, pemerintah daerah diminta untuk membantu perbaikannya. Menurut Mendiknas, pihaknya akan melakukan klarifikasi untuk memperoleh data yang akurat sekolah mana saja yang dianggap rusak berat. Hasil klarifikasi tersebut tidak hanya menyangkut perbaikan, tapi juga bisa berlanjut ke relokasi jika memang diperlukan. Bahkan menurutnya pemerintah juga akan melibatkan tim dari ITB dan tenaga-tenaga ahli dari SMK untuk kegiatan klarifikasi tersebut. Terkait pendanaan, mungkin akan menggunakan dua tahun anggaran, 2009 dan 2010. Agar diharapkan sekolah-sekolah yang hancur itu bisa segera diperbaiki.

Bencana Alam Dan Permasalahan Susulan

Bantuan mulai mengalir, namun sama seperti bencana – bencana terdahulu, bantuan kembali hanya diprioritaskan pada pemenuhan sandang dan pangan saja. Sedikit sekali yang menaruh perhatian kepada masalah pendidikan dan konseling bagi para korban bencana khususnya anak – anak. Berbahayanya lagi yang terjadi saat ini adalah bahwa pemulihan dan perbaikan infrastruktur akibat bencana itu tidak pendek, akibatnya bahkan terlihat begitu panjang. Sudah barang tentu ini sering kali berdampak kepada dunia pendidikan baik langsung maupun tidak, terlebih lagi dampak trauma yang dirasakan juga amat panjang bagi korban konflik tersebut.

Oleh sebab itu, penggalangan bantuan hendaknya bukan hanya difokuskan kepada barang-barang konsumsi seperti uang, makanan, minuman dan obat-obatan saja. Hendaknya keperluan pendidikan ikut dipikirkan. Sebab sebagaimana kebutuhan hidup sehari-hari, pendidikan juga merupakan kebutuhan utama bagi korban usia sekolah. Apabila mereka ketinggalan pelajaran, kerugian yang diderita semakin tak terhingga. Proses belajar dan mengajar bagi korban gempa bukan hanya pemenuhan fisik bangunan. Mereka sekarang belajar di tenda-tenda atau tempat penampungan lainnya yang tempatnya berpencar.

Selain itu masalah pemulihan trauma pasca bencana juga penting dan mendasar. Karena hal itu memberikan harapan pada anak-anak sekaligus pelipur lara ditengah kesedihan pasca bencana. Apalagi mengingat banyak sekali anak usia sekolah dari berbagai ragam usia yang menjadi korban akibat bencana ini. Hal ini membutuhkan penanganan serius dari pemerintah dan lapisan masyarakat yang peduli dengan hal ini, agar nantinya Indonesia tidak dipenuhi dengan generasi muda yang memiliki kondisi kejiwaan yang labil, akibat trauma berkepanjangan yang diderita[3]. Sehingga pendidikan dan konseling yang seharusnya diberikan kepada mereka pada saat ini, khususnya pada saat tinggal di pengungsian, hendaknya tetap berlanjut, setelah kebutuhan primer mereka terpenuhi, yakni dengan memberikan pendidikan dengan metode belajar yang menyenangkan, namun tetap berpijak pada kebudayaan lokal.

Seorang anak yang seharusnya mendapatkan rangsangan-rangsangan untuk pertumbuhan fisik dan mentalnya secara optimal pada masa-masa penting pertumbuhan seorang anak manusia ketika berumur 0 – 6 tahun, ternyata dalam daerah bencana rangsangan-rangsangan tersebut malah berupa tekanan mental akan ketakutan datangnya bencana yang mengancam, teriakan-teriakan ketakutan, pemandangan yang memilukan dan lain sebagainya. Dapat dibayangkan betapa rangsangan-rangsangan yang diberikan jauh dari bagaimana membangun potensi seorang anak secara optimal akan tetapi lebih kepada membangun anak-anak yang berjiwa keras dan labil atau bisa juga menjadi penakut, phobia berlebihan serta tak mampu bersosialisasi dengan baik, ini tentunya amat berbahaya apabila mereka tidak secepatnya ditangani dengan baik. Sesungguhnya dampak bencana yang paling berbahaya adalah, ketika dalam jiwanya tertanam ketakutan dan trauma[4], potensi inilah yang akan menyebabkan mereka sebagai bagian dari masalah sosial nantinya, tak hanya bagi dirinya tapi juga bagi masyarakat sekitarnya.

Sementara bagi remaja yang menjelang dewasa (usia produktif yang mulai memasuki dunia kerja), kehilangan pekerjaan akibat hilangnya tempat mereka bekerja karena ketakutan akan menjadi korban bencana atau terancam nyawanya. Mereka semua akan mulai kehilangan life skill untuk mempertahankan kehidupan diri mereka maupun keluarga mereka sendiri. Ketika semua itu terjadi maka mutu pendidikan pada daerah tersebut akan semakin turun, kualitas SDM yang ada pada daerah tersebut akan semakin turun. Anak-anak akan semakin ketakutan untuk bersekolah, lingkungan tidak lagi mendukung atmosfir pendidikan, namun lebih kepada atmosfir trauma pasca bencana serta hilangnya gairah atau semangat hidup akibat kehilangan harta benda serta keluarga yang disayangi, disinilah pendidikan diuji untuk mampu menangani korban akibat bencana[5].

Merentas Asa Menuju Masa Depan

Selain sebagai bagian dari hak azasi manusia yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, pendidikan juga merupakan kebutuhan rohani yang mutlak diperlukan setiap manusia untuk bertumbuh kembang. Begitu pula dengan anak-anak korban bencana alam, jangan sampai bencana membuat mereka terputus jalinan atau akses pendidikan. Pendidikan yang dikemas secara menarik, melalui metode pembelajaran yang sesuai, akan menjadikan anak-anak korban bencana, menjadi terhibur dan teralihkan sejenak dari trauma bencana yang mereka hadapi. Pendidikan menjadikan mereka bangkit, dan kembali memiliki harapan untuk terus melanjutkan hidup dan memperbaiki nasib mereka di masa mendatang. Dan ini tugas bagi pemerintah, dan segenap unsur masyarakat untuk mewujudkan pendidikan yang berkelanjutan bagi mereka.

Oleh karena itu, pendidikan diharapkan dapat menjadi jembatan yang lebih universal untuk memberikan pembelajaran bagi penanganan trauma yang terjadi pada korban setelah bencana. Selain untuk menjaga mutu pendidikan, hal ini juga amat penting mengingat dengan pendidikan juga diharapkan agar seseorang dapat berpikir rasional dalam menghadapi segala persoalan yang diakibatkan oleh adanya bencana. Penanganan korban pasca bencana alam ini memang membutuhkan perhatian yang lebih karena tingkat traumatik yang tinggi dan kompleks sifatnya, butuh sebuah penanganan yang lebih komprehensif lagi.

Pendidikan NonFormal yang memberikan pendidikan life skill kiranya akan membangkitkan kembali harapan mereka yang menjadi korban pasca bencana untuk bisa menjadi mandiri. Dengan pendidikan kesetaraan kiranya dapat mengejar ketertinggalan oleh karena ketakutan-ketakutan yang terjadi pada masa bencana atau juga ketika masa pemulihan pasca bencana ini akan lebih mempermudah menjaga pembelajaran tetap berjalan. Bahkan yang terpenting lagi adalah pendidikan bagi anak-anak usia dini, inilah yang teramat penting untuk dapat memberikan mereka sebuah kegiatan yang setidaknya bisa meluapkan emosi negatif yang terjadi atau bisa mengelaminisir akibat dari trauma kepada anak-anak tersebut, seperti trauma atas suara-suara, trauma oleh darah, trauma dengan ketakutan, trauma oleh tekanan dan lain sebagainya[6]. Kehidupan anak-anak itu harus segera secepatnya diberikan pemulihan secara psikis untuk bekal hidupnya kelak di masa yang akan datang.

Begitu juga dengan pendidikan kesetaraan yang kiranya lebih bisa memberikan layanan pendidikan kepada anak-anak korban bencana, karena fleksibilitas dan dinamisasinya yang tinggi. Ini tentu akan amat membantu mereka dalam mendapatkan pendidikan dengan baik. Terakhir, Dengan masuknya pendidikan nonformal pada korban bencana ini merupakan salah satu upaya untuk dapat mencegah ternjadinya letupan-letupan sosial yang akan mengakibatkan terjadinya permasalahan sosial seperti pengangguran dan kriminalitas[7].



[1] Artikel dalam Republika (Jakarta), 9 September 2009

[2] Ibid., hal, 2

[3] M.Darwis Hude, Emosi : penjelajahan religio-psikologis tentang emosi manusia di dalam Al Qur’an, Jakarta : Penerbit Erlangga, 2006. hal,179.

[4] Drs. Zulkifli Lubis, Psikologi Perkembangan, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2000. Hal, 18

[5] Peter E. Makin & Patricia A. Lindley, Positive Stress Management, Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 1994. hal, 224

[6] Drs. Zulkifli Lubis, op.cit., hal, 33

[7] M. Darwis Hude, op.cit., hal 244

Komentar

Postingan Populer